Selasa, 16 Desember 2014

Cara Yahudi Membuat Beban Berat Berislam



Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus. (QS. 2/Al-Baqarah : 108)

Melalui ayat ini, Allah Ta’aalaa melarang orang-orang mukmin banyak bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal-hal sebelum terjadi, sebagaimana Dia berfirman :

 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya akan menyusahkanmu dan jika kalian menanyakan pada waktu al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepada kalian. Allah memaafkan (kalian) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. 5/Al-Maidah: 101)

Artinya, jika kalian menanyakan perinciannya setelah ayat itu diturunkan, niscaya akan dijelaskan kepada kalian. Dan janganlah kalian menanyakan suatu perkara yang belum terjadi karena boleh jadi perkara itu akan diharamkan akibat adanya pertanyaan tersebut. Oleh karena itu dalam sebuah hadits shahih Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

Yahya bin Yahya menceritakan kepada kami dari Ibrahim bin Sa’d dari Ibnu Syihab dari ‘Amir bin Sa’d dari bapaknya, ia berkata : Rasulullah bersabda :  “Sesungguhnya orang muslimin yang paling besar kejahatannya di kalangan orang-orang muslimin adalah yang menanyakan sesuatu yang tidak diharamkan, kemudian menjadi diharamkan lantaran pertanyaan tadi.” (HR. Muslim)

Abul-Hasan As-Sarkhasy menceritakan kepada kami dari Zahir bin Ahmad dari Abu Ishaq Al-Hasyimy dari Abu Mush’ab dari Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari bapaknya dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ’alihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah Ta’aalaa ridha pada kalian akan tiga hal dan murka pada kalian akan tiga hal pula. Allah ridha  pada kalian (1) bahwa kalian mengibadati-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, (2) bahwa kalian berpegang teguh dengan tali Allah secara keseluruhan berjama’ah dan (3) bahwa kalian saling mengingatkan (dengan ansehat) pada orang yang Allah berikan kepemimpinan urusan kalian padanya.
Dan Allah murka pada kalian akan : (1) banyak bicara dan membicarakan isu yang didengarnya (katanya-katanya), menghambur-hamburkan harta, serta banyak bertanya.” 
(HR. Bukhari dan Muslim dalam Tafsir Al-Baghawy, Bab 103, Juz II, hal. 79)

Dalam kitab Shahih Muslim diriwayatkan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Zuhair bin Harb menceritakan kepada kami dari Yazid bin Harun dari Ar-Rabi’ bin Muslim Al-Qurasyiy dari Muhammad  bin Aiyad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu ’alihi wa sallam berbicara kepada kami, kemudian bersabda  : “Wahai manusia, sunnguh Allah memfardhukan hajji papda kalian, maka berhajjilah kalian”. Seseorang bertanya : “Apakah setiap tahun ya Rasulullah”. Kemudian beliau diam sehingga orang itu menanyakannya tiga kali. Kemudian  Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kalaulah aku mengatakan : Ya, sungguh niscaya wajib (berhaji tiap tahun) dan sungguh niscaya kalian tidak mampu”. Kemudian beliau bersabda : “Biarkan dari apa yang aku tinggalkan pada kalian, maka sesungguhnya binasa orang yang adalah sebelum kalian karena banyak tanya mereka dan penyelisihan mereka pada nabi-nabi mereka. Maka apabila aku memerinthakan pada kalian akan sesuatu laksanakanlah ia apa yang kalian mampu,dan jika aku melarang kalian akan sesuatu maka tinggalkan ia (jangan kalian lakukan perbuatan itu)”  (HR. Muslim)

Firman Allah Ta’aalaa,


“Apakah kalian menghendaki untuk meminta kepada Rasul kalian seperti Bani Israil meminta kepada Musa pada zaman dahulu?”
Maksudnya adalah, bahkan kalian menghendaki untuk itu. Atau dapat juga dikatakan bahwa hal itu termasuk bab istifham (pertanyaan) yang mempunyai makna penolakan. Dan firman-Nya itu berlaku umum, baik orang-orang mukmin dan juga orang-orang kafir, karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu diutus kepada umat manusia secara keseluruhan. Sebagaimana firman-Nya :

“Ahlul kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: ‘Perlihatkanlah Allah kepada kami dengan nyata.’ Maka mereka disambar petir karena kezhalimannya.”(QS. 4/An-Nisaa’ : 153)

Maksudnya, Allah Ta’aalaa mencela orang yang bertanya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengenai sesuatu hal dengan tujuan untuk mempersulit dan mengusulkan pendapat yang lain, sebagaimana yang ditanyakan Bani Israil kepada Musa ‘alaihissalam dalam rangka menyulitkan, mendustai, dan mengingkarinya.

Firman-Nya,

“Dan barangsiapa menukar keimanan dengan kekufuran.” 

Artinya, barangsiapa membeli kekufuran dengan menukarnya (dengan) keimanan,

“Maka ia benar-benar tersesat dari jalan yang lurus.”
Artinya, ia telah keluar dari jalan yang lurus menuju kebodohan dan kesesatan. Demikian itulah keadaan orang-orang yang menolak untuk membenarkan dan mengikuti para nabi dan berbalik menuju penentangan dan pendustaan serta mengusulkan pendapat yang lain melalui pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya mereka tidak memerlukannya dan hanya bertujuan untuk menyulitkan dan kufur.
 
Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran (murtad) setelah kalian beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’af-kanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.(QS. 2/Al-Baqarah : 109)

Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Dan apa-apa yang kalian usahakan dari kebaikan bagi diri kalian, tentu kalian akan mendapat balasan nilai amal di fihak Allah. Sesungguhnya Allah Mahamelihat apa-apa yang kalian kerjakan. (QS. 2/Al-Baqarah : 110)

Allah Tabaraka wa Ta’aalaa mengingatkan hamba-hamba-Nya tentang permusuhan orang-orang kafir terhadap mereka, baik secara batiniyah maupun lahiriyah. Dan berbagai kedengkian mereka terhadap orang-orang mukmin.

Allah Ta’aalaa memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk berlapang dada dan memberi maaf sampai tiba saatnya Allah Ta’aalaa mendatangkan pertolongan dan kemenangan. Juga menyuruh mereka mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.

Sebagaimana yang diriwayatkan Muhammad bin Ishak, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, Huyay bin Akhthab dan Abu Yasir bin Akhthab merupakan orang Yahudi yang paling dengki terhadap masyarakat Arab, karena Allah Ta’aalaa telah karunia dengan (mengutus) Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, keduanya juga sebagai orang yang paling gigih menghalangi manusia memeluk Islam. Berkaitan dengan kedua orang tersebut, Allah Ta’aalaa menurunkan ayat,

“Sebagian besar Ahlul Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kalian kepada kekafiran (murtad)setelah kalian beriman.”

 Lebih lanjut Allah Ta’aalaa berfirman,


“Karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran.”

Dia berfirman, yaitu setelah kebenaran terang benderang di hadapan mereka dan tidak ada sedikit pun yang tidak mengetahuinya, tetapi kedengkian menyeret mereka kepada pengingkaran. Maka Allah Ta’aalaa menyatakan ketercelaan dan kehinaan mereka, serta menjamin bagi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang-orang yang beriman yang telah membenarkan, mengimani, dan mengakui apa yang diturunkan Allah Ta’aalaa kepada mereka dan yang diturunkan kepada orang-orang sebelum mereka, kemuliaan, balasan nilai amal yang besar, dan pertolongan-Nya.

Mengenai firman-Nya,

“Setelah nyata bagi mereka kebenaran,” 

“Yaitu setelah dibuktikann dengan nyata dan jelas bahwa Nabi Muhammad, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tertulis dalam kitab Taurat dan Injil. Lalu mereka mengingkarinya karena dengki dan iri, karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bukan dari kalangan mereka (Yahudi).”

Dan firman Allah Ta’aalaa,

“Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.” 

Ayat ini sama seperti firman Allah berikut ini:

“Dan juga kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang Ahli Kitab yang mempersekutu-kan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati.” (QS. 3/Aali Imraan: 186)

Mengenai firman-Nya,

“Maka maafkan-lah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya,” 

Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat-ayat berikut ini:

“Maka bunuhlah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.” (QS. 9/At-Taubah: 5)

Juga (dengan) firman-Nya :


“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari akhir serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. 9/At-Taubah : 29)

Dengan demikian pemberian maaf tersebut dinasakh (dihapuskan) bagi orang-orang musyrik.

Hal itu ditunjukkan pula oleh firman-Nya,
 
“Sehingga Allah mendatangkan perintah-Nya.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan untuk memberikan maaf seperti yang diperintahkan Allah, sehingga Allah mengizinkan kaum muslimin memerangi mereka. Lalu dengannya Allah membunuh para pemuka kaum Quraisy.

Firman Allah :

 “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk dirimu, maka kalian akan menemukan balasan nilai amalnya di fihak  Allah.” (QS. 2/Al-Baqarah : 110)

Allah Ta’aalaa memerintahkan mereka untuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka yang balasan nilai amalnya adalah untuk mereka pada hari kiamat kelak, seperti misalnya mendirikan shalat dan menunaikan zakat, sehingga Allah Ta’aalaa memberikan kepada mereka kemenangan dalam kehidupan dunia ini dan ketika hari kebangkitan kelak,

“Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang zhalim permintaan maafnya dan bagi merekalah laknat dan bagi mereka pula tempat tinggal yang buruk.” (QS. 40/Al-Mu’min: 52)

Oleh karena itu Allah Ta’aalaa berfirman,


“Sesungguhnya Allah Mahamelihat apa-apa yang kalian kerjakan.”

Artinya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya. Dia akan membalas perbuatan baik dengan kebaikan, kejahatan dengan kejahatan serupa. Firman-Nya ini, meskipun berkedudukan sebagai berita, namun mengandung janji dan ancaman, sekaligus perintah dan larangan. Di mana Dia memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia Maha-mengetahui seluruh amal yang mereka kerjakan, dengan tujuan agar mereka lebih bersungguh-sungguh untuk berbuat ketaatan, dan semuanya itu akan menjadi deposit bagi mereka, sehingga Dia memberikan balasan kepada mereka. Sebagaimana firman-Nya,

“Kebaikan apapun yang kalian lakukan untuk dirimu, maka kalian akan menemukan balasan nilai amalnya di fihak Allah” (QS. 2/Al-Baqarah : 110)

Mereka juga diperingatkan agar tidak berbuat maksiat kepada-Nya.

Selasa, 25 November 2014

Perdukunan Cara Yahudi Membuang Kitab Allah



Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari fihak Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung) nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). (QS. 2/Al-Baqarah :101)

Tatkala Rasulullah diutus Allah sebagai Rasul, orang-orang Yahudi mempertentangkan Al-Qur’an dan Taurat, mereka membantah Al-Qur’an. Kemudian ternyata Taurat terbukti cocok dengan Al-Qur’an, maka mereka mencampakkan Taurat dan mereka berpegang pada kitab Aashif (sekretaris Nabi Sulaiman) dan sihr Haarut dan Maarut maka Al-Qur’an dan kitab Aashif (sekretaris Nabi Sulaiman) itu tidak cocok satu sama lain. Itulah yang disebut bahwa seolah-olah mereka tidak tahu.


Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan tidaklah diturunkan atas dua malaikat di negeri Babil pada Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. 2/Al-Baqarah:102)


Al-Aufa berkata dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas tentang firman Allah : “Dan mereka mengikuti apa yang ditilawahkan para syaithan …. “ dst. Dan adalah ketika kerajaan Sulaiman tidak ada, sekelompok kalangan jin dan manusia murtad (kembali kafir) dan mengikuti syahwat. Maka tatkala Allah Subhaanahu wa Ta’aala mengembalikan kepada Sulaiman kerajaannya itu sedangkan kelompok manusia menjalankan ajaran hidup yang sebagaimana telah ada. Dan sesungguhnya Sulaiman telah mengetahui rahasia kitab-kitab mereka maka Sulaiman menguburnya di bawah kursi (singgasana)-nya. Dan telah cukup pada Sulaiman pengada-adaan sedemikian itu. Kemudian kalangan manusia dan jin itu mengetahui kitab-kitab itu setelah wafatnya Sulaiman dan mereka mengatakan :
“Inilah kitab dari Allah yang Allah turunkan kepada Sulaiman kemudian dia menyembunyikannya dari kita” Kemudian mereka mengambil kitab itu dan menjadikannya ajaran hidup.
Maka Allah menurunkan ayat yang artinya :
Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari fihak Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah ke belakang (punggung) nya seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah Kitab Allah). (QS. 2/Al-Baqarah :101). Dan mereka mengikuti syahwat yang ditilawahkan kepada mereka oleh para setan-setan dan itu adalah musik nyanyian, permainan dan setiap sesuatu yang menghalangi dari ingat pada Allah.   (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr, Beirut, Jilid I, hal. 135)

Firman Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa :

"Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman.
Sulaiman tidaklah kafir, namun setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajari manusia sihir."

As-Suda berkata, "Setan-setan (dari kalangan jin) suka naik ke langit. Di sana mereka mengambil tempat di beberapa posisi untuk mencuri dengar khasanah pembicaraan para malaikat. Mereka menyimak pembicaraan para malaikat ihwal perkara yang akan terjadi di bumi seperti kematian, hal gaib, atau persoalan tertentu. Kemudian mereka mendatangi para dukun untuk memberi mereka informasi. Para dukun itu menginformasikan kepada khalayak sehingga mereka mendapati kesesuaian antara kejadian dan ucapan dukun. Setelah para dukun mempercayai setan (dari kalangan jin), maka mereka berdusta dan menambahi informasi palsu sehingga satu kalimat menjadi tujuh puluh kalimat. Kemudian orang-orang menulis percakapan itu dalam berbagai buku sehingga menyebarlah berita pada Bani Israel bahwa jin mengajari kegaiban. Kemudian diutus Nabi Sulaiman kepada mereka. Beliau mengumpulkan buku-buku (perdukunan) itu dan disimpan dalam peti, kemudian dikubur di bawah singgasananya. Tidak ada satu setan pun yang berani mendekati singgasana tersebut melainkan dia akan terbakar. Sulaiman berkata, 'Saya tidak mendengar seorang pun yang menceritakan bahwa setan itu mengajarkan kegaiban melainkan akan kupenggal lehernya."

Setelah Sulaiman ‘alaihis-salaam meninggal dan para ulama yang mengetahui persoalan Sulaiman pun telah wafat, kemudian diganti oleh suatu generasi, maka setan jin menampilkan diri dalam wujud seorang manusia. Kemudian dia mendatangi sekelompok Bani Israel seraya berkata, "Maukah kalian kutunjukkan timbunan harta yang tak pernah kalian raup selamanya?" Mereka menjawab : Ya. Setan berkata, "Galilah di bawah singgasana Sulaiman." Kemudian setan pergi bersama mereka guna menunjukkan tempatnya, sedang setan berdiri di pinggir. Mereka berkata kepada setan, "Turunlah!" Setan menjawab, "Tidak, aku di sini saja menyertai kalian. Jika kalian tidak menemukannya, maka bunuhlah aku!" Kemudian mereka menggali dan akhirnya menemukan buku-buku sihir tersebut. Setelah mereka mengeluarkannya, setan berkata, "Sesungguhnya Sulaiman itu dapat mengendalikan manusia, jin, dan burung berkat sihir ini sehingga ia bisa terbang dan pergi." Maka gemparlah di masyarakat bahwa Sulaiman itu tukang sihir. Kemudian Bani Israel mengambil buku-buku sihir tersebut.

Ketika Muhammad bin Abdullah datang, Bani Israel mendebat beliau dengan buku-buku itu. Itulah yang dimaksud dalam firman Allah,
"Dan tidaklah Sulaiman itu kafir, namun setanlah yang kafir."

Ibnu Abi Hatim dari Abu Sa’id Al-Asyajji dari Abu Usamah dari Al-A’masy dari Al-Minhal dari Said bin Jubeir dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Ashif, sekretaris Sulaiman, mengetahui nama yang paling agung (al-Ismul-A'zham). Dia menulis segala sesuatu atas perintah Sulaiman dan menguburnya di bawah singgasananya. Setelah Sulaiman meninggal, maka setan mengeluarkannya dan mereka menuliskan (kalimat-kalimat) kekafiran dan sihir di antara baris-baris buku tersebut, kemudian mengatakan, 'Inilah yang dijadikan pedoman kerja oleh Sulaiman."
(Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr, Beirut, Jilid I, hal. 135)

Kesimpulannya ialah bahwa setelah kaum Yahudi -- yang telah diberi kitab itu -- berpaling dari Kitab Allah yang ada di tangan mereka dan menyalahi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka mengikuti apa yang dituturkan oleh setan (jin), yakni apa yang diceritakan, diinformasikan, dan dikisahkan oleh setan (jin) pada masa kerajaan Sulaiman.

Firman Allah Subhaanahu wa Ta'aalaa :
"Dan tidaklah diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajari seorang pun sebelum keduanya mengatakan, "Sesungguhnya kami adalah ujian, maka janganlah kamu kafir." Maka mereka belajar dari keduanya sesuatu yang dapat memisahkan seseorang dari istrinya.

Kaum Yahudi berkeyakinan bahwa Jibril dan Mikail ‘alaihimas-salaam adalah dua malaikat yang menurunkan sihir kepada Sulaiman ‘alaihis-salaam. Lalu Allah mendustakan mereka dan memberitahukan kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Jibril dan Mikail tidaklah menurunkan sihir. Allah juga menyucikan Sulaiman dari perbuatan sihir yang mereka tuduhkan kepadanya. Allah memberitahukan kepada Bani Israel bahwa sihir merupakan perbuatan setan yang diajarkan kepada manusia di Babil, dan orang yang mengajarkannya ialah dua laki-laki yang bernama Harut dan Marut. Jika ditafsirkan demikian, maka man dalam kata wamaa unzila 'alal-malakaini merupakan man nafyi, bukan sebagai isim maushul yang bermakna 'yang'.

Al-Qurthubi berkata, "Maa merupakan negasi dan di-'athaf-kan kepada wamaa kafara sulaimaanu." Kemudian Allah berfirman, "Namun setanlah yang kafir; mereka mengajarkan sihir kepada manusia. Dan tidaklah diturunkan kepada dua malaikat...." Hal itu karena kaum Yahudi beranggapan bahwa sihir itu diturunkan oleh Jibril dan Mikail, lalu Allah mendustakan mereka dan kata Haaruuta wa Maaruut merupakan badal 'pengganti' dari setan. (Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr, Beirut, Jilid I, hal. 137-138)

Firman Allah Subhaanhu wa Ta’aalaa :

"Kemudian mereka mempelajari dari keduanya sesuatu yang
dapat memisahkan antara seseorang dan istrinya."

Artinya, manusia belajar dari Harut dan Marut berupa ilmu sihir yang mereka gunakan untuk hal-hal tercela apa yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya melalui sihir bersamaan apa yang terdapat dalam keluarga berupa kerukunan dan keserasian, dan itu adalah perbuatan setan.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam sahihnya :

Dari Al-A’masy dari Abu Sofyan Thalhah bin Nafi’ dari Jabir dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
 "Setan itu meletakkan singgasananya di atas air. Kemudian dia mengutus pasukannya kepada manusia. Maka manusia yang paling dekat kedudukannya dengan setan berarti paling besar pula mendapat ujian dari setan. Seorang anggota pasukan datang melapor, 'Saya terus menggarap si Fulan sebelum aku meninggalkannya
dalam keadaan dia mengatakan begini dan begini. 'Kemudian Iblis berkata, 'Demi Allah, kamu tidak melakukan apa pun terhadapnya.' Kemudian anggota pasukan lain datang melapor, 'Aku tidak meninggalkan manusia sebelum aku berhasil menceraikan antara dia dan istrinya. Lalu mendekatinya, mengakrabinya, dan menempelnya.' Iblis berkata, 'Bagus kamu.'" (HR Muslim)
(Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Fikr, Beirut, Jilid I, hal. 144; Al-Bidayah wa An-Nihayah, Juz I, hal. 63)

Penyebab perceraian antara suami dan istri ialah gambaran buruk ketika melihat wajah suami atau istri dan perilakunya yang diimajinasikan oleh setan kepada suami dan istri, atau sebab-sebab lain yang mengantarkan kepada perceraian. Allah Subhaanhu wa Ta’aalaa  berfirman :
"Dan sekali-kali mereka tidak memberikan mudharat, dengan sihirnya, kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah." Sufyan Ats-Tsauri mengatakan, "Kecuali dengan qadha Allah." Hasan al-Bashri berkata, "Benar, barangsiapa yang dikehendaki-Nya, maka ia dikuasai setan.

Dan siapa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak dukuasai setan." Firman Allah Subhaanhu wa Ta’aalaa  :
 "Dan mereka mempelajari sesuatu yang memudharatkan mereka dan tidak memberinya manfaat," yakni memudharatkan ajaran hidup mereka dan tidak memberinya manfaat yang sepadan dengan kemudharatannya.

"Sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menukarnya dengan sihir itu, maka tidak ada bagian untuknya di akhirat." Yakni, sesungguhnya kaum Yahudi sudah mengetahui bahwa orang yang menukarkan ketundukan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sihir tidak akan mendapat bagian di akhirat. Demikianlah tafsir Ibnu Abbas, Mujahid, dan as-Sadi.

Firman Allah :
"Dan alangkah buruknya perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, jika mereka
mengetahui." Allah Subhaanhu wa Ta’aalaa  berfirman, betapa buruknya penggantian keimanan dan ketaatan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan sihir yang telah mereka lakukan, seandainya mereka mengetahui nasihat yang diberikan beliau; seandainya mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta para rasul lain sebelumnya; dan seandainya mereka memelihara diri dari hal-hal yang diharamkan, niscaya balasan nilai amal bagi mereka dari fihak Allah adalah lebih baik bagi mereka daripada apa yang dipilih dan disukai untuk dirinya.
Thiyarah dan Mendatangi Dukun

Abu Muhammad bin Nadzir bin Jannah Al-Qadhy di Kufah dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Dahim dari Ahmad bin Hazim bin Abi Ghurzah dari Al-Fadhl bin Dakin dan ‘Ubaidullah bin Musa dan Tsabit bin Muhammad Al-Kanany, mereka berkata dari Sofyan dari Abu Ishaq dari Hubairah bin Yarim dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata :
Barangsiapa mendatangi tukang sihir, dukun, peramal, kemudian ia membenarkannya pada apa yang dikatkannya maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan atas Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bayhaqy)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

 “Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: ‘Ini disebabkan (usaha) kami.’ Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [QS. 7/Al-A’raaf: 131]

Dari Muhammad bin Katsir dari Sofyan dari Salamah bin Kuhail dari Isa bin ‘Ashim dari Zir bin Hubaisy dari Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik, thiyarah itu syirik dan setiap orang pasti (pernah terlintas dalam hatinya sesuatu dari hal ini). Hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal kepada-Nya.”  (HR. Abu Dawud)

Abul Yaman menceritakan kepada kami dari Syu’aib dari Az-Zuhry dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasanya Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulamy dan adalah dia itu sahabat, ia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Bagaimanakah menurut engkau ( ya Rasulullah) perkara-perkara yang kami melakukakannya di masa Jahiliah. Kami berthiyarah ?
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Itu adalah sesuatu yang akan kalian temui dalam diri kalian, maka sungguh janganlah itu menghalangi kalian!’”
Maka aku bertanya (lagi) : kami mendatangi dukun tukang tenung.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Jangan kalian mendatangi dukun tukang tenung ! (HR. Ahmad)

Hasan meriwayatkan kepada kami dari Ibnu Luhai’ah dari Ibnu Hubairah dari Abu Abdurrahman Al-Jubuly dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Barangsiapa mengurungkan niatnya karena thiyarah, maka ia telah berbuat syirik.” Para Sahabat bertanya: “Lalu apakah tebusannya?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Hendaklah ia mengucapkan: ‘Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiadalah burung itu (yang dijadikan objek tathayyur) melainkan makhluk-Mu dan tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.’” HR. Ahmad (II/220), dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Tahqiiq Musnad Imam Ahmad (no. 7045). Lihat :  Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 1065).


Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, sungguh balasan nilai amal dari fihak Allah adalah lebih baik, kalau mereka mengetahui. (QS. 2/Al-Baqarah : 103)